Harga Naik? Logika Kita Sudah Terbalik!
9 Jun 2016 - 16:32 WIB
Tolong luruskan saya jika saya salah!
Entah sudah berapakali saya dibuat geram dengan kenyataan yang menurut saya sangat diluar logika. Atau bisa dikatakan memang sudah terbalik logika kita ini. Naiknya harga kebutuhan setiap kali Ramadhan adalah sebuah ironi. Alasan klasik yang lagi – lagi di jadikan kambing hitam adalah kurangnya persediaan barang di pasaran. Ini aneh, kenapa? Pasalnya kejadian ini sudah terulang setiap tahunnya. Dan tidak satu atau tiga tahun ke belakang ini terjadi melainkan “tamu tidak diundang” ini sudah hadir puluhan tahun silam, bahkan yang lebih miris kejadian ini seakan menjadi sebuah tradisi di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi. Yang hanya dari sebatang kayu saja bisa jadi makanan.
Logika macam apa yang manusia modern seperti kita gunakan. Manusia yang katanya lebih rasional bahkan dari logika itu sendiri. Banyangkan saja, mayoritas penduduk Indonesia itu muslim, saya ambil kasarnya saja 70%, dan saya bulatkan 50% yang puasa (20% itu anak- anak, orang sakit, ibu hamil, dan lain – lain). Jadi ada setengah dari populasi di Indonesia yang berpuasa di saat Ramadhan dan itu artinya mereka tidak makan siang. Artinya apa? Ada penghematan disitu. Karena praktis kita efektiv makan di bulan Ramadhan itu dua kali sehari. Sehabis berbuka juga saat makan sahur.
Lalu adakah benang merahnya? Tentu saja ada (menurut saya). Karena jika alasan naiknya harga kebutuhan karena adanya kelangkaan ketersediaan maka sangat tidak rasional karena disaat yang bersamaan konsumsi kebutuhan kita juga menurun. Kalaupun memang benar ada kelangkaan persediaan kebutuhan maka seharusnya tidak berpengaruh banyak kepada tingkat inflasi. Gambaran kasarnya begini (menurut saya), kita makan menjadi 2x sehari(seharusnya 3x) atau ada penghematan 33% dan ada itu dilakukan setengah dari jumlah penduduk Indonesia. Itu artinya kita (Indonesia) bisa menghemat sekitar 16,5% (33% x 50%) kebutuhan pokok kita (seperti daging, beras, bumbu dapur dan lainnya) setiap hari selama Ramadhan. Jujur saja saya gagal paham. Lalu kenapa masih saja alasan kelangkaan persediaan itu terjadi? Masih relevankah itu kita lakukan? Lalu sebenarnya siapa yang salah?.
Banyak pihak atau bahkan semua pihak harusnya bertanggung jawab atas hal ini.
Pemerintah
Pihak yang satu ini memang selalu menjadi kambing hitam setiap kali permasalahan semacam ini mencuat kepermukaan. Berbagai macam pemberitaan mengungkapkan akan kurang tanggapnya pemerintahan terhadap hal semacam ini, yang setiap tahunnya terulang. Antisipasi semacam operasi pasar dan impor juga dianggap kebijakan tambal sulam dan tidak menyentuh akar permasalahan. Karena jika kenaikan harga di ibaratkan itu sakit maka apa yang pemerintah lakukan tidak ubahnya hanya meredakan sakit itu tidak mengobati.
Pedagang
Pihak kedua ini juga memiliki peran strategis dibalik fenomena tahunan semacam kenaikan harga ini. Banyak indikasi adanya permainan dari para spekulan yang memang sengaja membuat keadaan sedemikian rupa. Hingga akhirnya harga kebutuhan bisa naik.
Media
Seberapa besar pengaruh media dalam permasalahan semacam ini? Jawabannya sangat besar. Bahkan saya bisa menulis keresahan ini juga dari media. Kita ambil saja satu contoh. Sebenarnya tidak semua daerah mengalami kenaikan, tetapi bukan tidak mungkin karena adanya pemberitaan yang begitu masif maka yang tadinya tidak naik, ikut -ikutan naik (latah).
Masyarakat
Masyarakat (termasuk saya) selalu menjadi objek yang terkena imbas dari suatu permasalahan yang ada. Kita sebagai masyarakat tidak ubahnya sebuah pion dalam permainan catur, yang hanya bisa melangkah lurus(tidak punya kesempatan menghindar) tanpa tedeng aling – aling. Tetapi satu hal yang saya rasa masyrakat juga memiliki andil besar dari fenomena kenaikan kebutuhan pokok ini. Ya, saat Ramadhan kita cenderung menjadi manusia yang konsumtif. Seolah tidak ada perbedaan antara puasa atau tidak.
Tulisan ini sendiri sejatinya merupakan sebuah bahan renungan untuk mengintrospeksi diri sendiri. Karena di hari kedua puasa (hari selasa lalu) saya membeli apa yang seharusnya tidak saya beli (mubazir). Membeli banyak makanan untuk berbuka merupakan salah satu contoh bagaimana konsumtifnya masyarakat kita(termasuk saya) saat bulan ramadhan. Waktu dimana seharusnya kita menghemat.
Tetapi terlepas dari apa alasan terjadinya kenaikan harga dan siapa pihak yang harusnya paling bertanggung jawab. Kita(umat islam khususnya) telah gagal mamahami makna Ramadhan itu sendiri, ya Ramadhan sesungguhnya mengajarkan kita untuk bisa menahan diri. Bahkan dari sesuatu yang halal pun kita harus bisa menahan.
TAGS peristiwa /
0 Comments
Terimakasih anda telah mengunjungi blog saya, Semoga Anda mendapatkan manfaat dan mohon tunjuk ajarnya dengan sopan